Sepuluh negara yang tergabung dalam Economic Cooperation Organization kembali mengadakan pertemuan puncak tahunan di Istanbul, Turki, 20-23 Desember 2010. Ini adalah negara-negara yang dulunya menjadi Jalur Sutra, jalur utama perdagangan Asia-Eropa.
Salah satu tujuan utamanya adalah melancarkan transportasi darat, harmonisasi kepabeanan yang akan melancarkan mobilitas barang dan juga sektor jasa.
Pertemuan puncak akan dipimpin Presiden Turki Abdullah Gul. Misi lain adalah kerja sama teknis, budaya. Hal ini tidak saja penting untuk menjadikan kawasan sebagai sarana infrastruktur semata, tetapi juga demi kebangkitan ekonomi kawasan itu sendiri sehingga tidak hanya menjadi sekadar jalur perdagangan bagi pihak lain.
Misi Economic Cooperation Organization (ECO), yang terdaftar di PBB, juga bersambut dengan niat China untuk menjadikan kawasan sebagai pasar baru. Kawasan ini punya potensi besar untuk berkembang sehubungan dengan keberadaan sumber daya mineral, seperti minyak (150 miliar barrel), gas (1.234 triliun kaki kubik), dan penduduk berusia muda yang dinamis.
Hambatan pembangunan selama ini muncul akibat keberadaan pemerintah yang korup, sarat pertikaian politik, dan terganggu akibat rebutan pengaruh beberapa kekuatan dunia, seperti AS dan Uni Soviet di masa lalu, dan kini Rusia, AS, dan China.
Ibaratnya, selama ini kawasan hanya tumbuh sebagai pemenuhan kepentingan bagi kekuatan ekonomi dunia yang hanya mengincar kekayaan alam lewat dukungan buta kepada para elite negara-negara ECO, sebagaimana terungkap dalam kawat-kawat diplomatik AS yang dibocorkan oleh WikiLeaks.
Dengan jumlah penduduk sekitar 350 juta jiwa, tidak terlalu beda jauh dari jumlah penduduk Uni Eropa, kawasan ini mencoba merapatkan barisan untuk menjadi salah satu sentra pertumbuhan ekonomi dunia.
Kedekatan faktor kultur dan keseragaman agama, yakni Islam, bukan tak mungkin kawasan akan tumbuh sebagai salah satu kelompok yang menjadi lirikan perusahaan multinasional.
Sekjen ECO Mohammed Yahya Maroofi mengatakan, perdagangan menjadi prioritas utama ECO, yang bermarkas di Teheran, Iran.
Hal yang jelas, ECO sudah lama memiliki keinginan untuk bangkit, dimulai oleh tiga negara, yakni Turki, Iran, dan Pakistan, dan kemudian pada tahun 1992 memperluas kerja sama dengan negara-negara sekitarnya, yakni Afganistan, Azerbaijan, Tajikistan, Turkmenistan, Kazakhstan, Kirgistan, dan Uzbekistan.
Namun, dalam perjalanannya, upaya ini terseok-seok sejak dicanangkan pada 1985 dan baru dihidupkan lagi pada tahun 1992. Struktur pemerintahan yang selama ini tidak demokratis dan memunculkan kekuatan oposisi destruktif juga turut menjadi penghambat lain kemajuan ekonomi ECO.
Persaingan di antara negara-negara ini dalam rangka perebutan pengaruh juga menjadikan kawasan selama ini sulit berkembang, sebagaimana dikatakan oleh Dr Heidemaria Gurer, staf ahli Departemen Luar Negeri Austria yang mendalami kawasan ini.
Peran China yang ingin memajukan kawasan lewat investasinya di bidang infrastruktur—dengan tujuan mengikis kemiskinan, diiringi kebang- kitan kawasan akan potensi dan jati dirinya sehingga bisa melapangkan jalan menuju mo- dernisasi—bukan mustahil kawasan ini akan bangkit dan berjaya.
Indonesia sebagai salah satu negara yang mudah diterima di kawasan ini karena kedekatan budaya tentunya akan lebih mudah mendapatkan tempat. Karena itu, antisipasi sejak dini dengan menancapkan kuku investasi dan hubungan ekonomi lainnya adalah hal yang mutlak dilakukan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar